PEMILIHAN
LOKASI
BUDIDAYA
KERAPU
A.
LATAR
BELAKANG
Ikan kerapu merupakan ikan
ekonomis penting yang memiliki potensi pasar yang cukup baik dengan
meningkatnya permintaan dari pasar domestik dan luar negeri. Dengan semakin
banyaknya permintaan ikan kerapu untuk pasaran domestik dan internasional, maka
membuka peluang usaha untuk penyediaan benih ikan kerapu.
Saat ini
kemajuan teknologi produksi benih ikan kerapu secara masal sudah mantap
dan sudah diadopsi oleh para pelaku budidaya . Akan tetapi selain keberhasilan
teknologinya , salah satu faktor pendukung yang menunjang dalam keberhasilan
usaha pembenihan kerapu ini adalah penentuan pemilihan lokasi yang tepat.
Pemilihan lokasi yang tepat akan memudahkan operasional serta menjamin
keberlanjutan usaha . Oleh karena itu dalam pemilihan lokasi harus
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan persyaratan lokasi. secara
umum dalam pemilihan lokasi harus mempertimbangkan faktor teknis dan non
teknis.
B.
FAKTOR
TEKNIS
Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus
dipenuhi dalam kegiatan pembenihan kerapu dan berhubungan langsung ke aspek
teknis, seperti sumber air (laut dan tawar), dasar perairan, kualitas tanah,
elevasi lahan dan pasang surut.
1.
Sumber
air dan dasar perairan
Kuantitas dan kualitas sumber air sangat menentukan
keberhasilan pembenihan, tak terkecuali dengan sumber air tawar yang juga
merupakan kebutuhan pokok. Sumber air harus bebas dari polusi rumah tangga,
industri ,perikanan dan pertanian. Air tawar diperlukan untuk membersihkan
peralatan kerja, sanitasi lingkungan dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Dilihat dari segi kualitas, sumber air laut harus jernih dan bersih secara
visual sepanjang tahun. Dengan perairan pantai dengan dasar perairan pasir atau
berkarang, pada umumnya jernih dan merupakan lokasi
pengambilan air laut yang baik. Sedangkan pada jenis pantai yang berlumpur
memiliki air yang keruh dan cenderung bersifat asam oleh karena itu perlu
dihindari. Kejernihan suatu perairan belum tentu memberikan jaminan kualitas
air yang baik. Akan tetapi kejernihan setidaknya cukup menduga secara fisik
menunjukkan air yang baik. Untuk benar-benar memastikan kualitas air yang baik
maka perlu dilakukan pemeriksaan parameter kimia dan biologi.
Gambar 1. Sumber Air Laut yang
Bersih sangat Menentukan Keberhasilan Hatchery.
Beberapa parameter kimia yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan lokasi pembenihan meliputi oksigen terlarut (DO), salinitas,
pH, BOD, COD, amoniak, nitrit, nitrat, logam berat serta bahan-bahan polutan.
Beberapa parameter yang perlu diperhatikan adalah kecerahan, kekeruhan, suhu,
warna, bau, benda terapung dan kepadatan tersuspensi. Sedangkan parameter
biologi perairan yang menjadi pertimbangan adalah kesuburan perairan yang
meliputi kelimpahan dan keragaman fitoplankton dan zooplankton, keberadaan
mikroorganisme pathogen dan biologi lain yang ada di perairan. Berikut
disajikan baku mutu air laut untuk biota laut (Budidaya Perikanan) menurut Kep.
MENKLH No. KEP–02/ Men. KLH/ 1/1998 yang tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut
(Budidaya Perikanan)
Baku Mutu
|
Metode Analisis
|
|||||
No
|
Parameter
|
Satuan
|
||||
Diperboleh-
|
Diingin-
|
|||||
kan
|
kan
|
|||||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
|
FISIKA
|
||||||
1
|
Warna
|
Cu, Color
|
≤ 50
|
≤ 30
|
Kolorimetrik/
|
|
unit
|
Spektrofotometrik
|
|||||
2
|
Bau
|
-
|
Alami
|
Nihil
|
Organoleptik
|
|
3
|
Kecerahan
|
Meter
|
≥ 3
|
≥ 5
|
Visual
|
|
Nephelome
|
||||||
4
|
Kekeruhan
|
tric
|
C 30
|
≤ 5
|
Nephelometric/
|
|
Turbidity
|
Helige turbidimetrik
|
|||||
Unit
|
||||||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
|
5
|
Padat tersuspensi
|
Mb/l
|
≤ 80
|
≤ 25
|
Penimbangan
|
|
6
|
Benda Terapung
|
-
|
Nihil
|
Nihil
|
Visual
|
|
7
|
Lapisan Minyak
|
-
|
Nihil
|
Nihil
|
Visual
|
|
8
|
Suhu
|
oC
|
Alami
|
Alami
|
Pemuaian
|
|
KIMIA
|
||||||
1
|
pH
|
-
|
6 – 9
|
6,5 – 8,5
|
Elektrometrik
|
|
2
|
Salinitas
|
‰
|
± 10 % Alami
|
Alami
|
Konduktivitimetrik/
|
|
Argentometrik
|
||||||
Titrimetrik Winkler/
|
||||||
3
|
Oksigen
|
mg/L
|
> 4
|
> 6
|
Elektrokimiawi dan
|
|
inkubasi 5 hari
|
||||||
4
|
BOD5
|
mg/L
|
≤ 45
|
≤ 25
|
Titrimetrik Winkler/
|
|
Elektrokimiawi
|
||||||
5
|
COD
Bikromat
|
mg/L
|
≤80
|
≤40
|
Titrimetrik Frank J.
|
|
Baumann (Refluksi)
|
||||||
6
|
Amonia
|
mg/L
|
≤1
|
≤0,3
|
Biru Indofenol
|
|
7
|
Nitrit
|
mg/L
|
Nihil
|
Nihil
|
Diazotasi
|
|
8
|
Sianida(Cn)
|
mg/L
|
0,20
|
≤0,5
|
Spectofotometrik
|
|
9
|
Sulfida(H2S)
|
mg/L
|
≤0,03
|
≤0,01
|
Kolotimetrik
|
|
10
|
Minyak Bumi
|
mg/L
|
≤5
|
Nihil
|
Spectofluoritmetrik
|
|
11
|
Senyawa fenol
|
mg/L
|
≤0,002
|
Nihil
|
Spectofluoritmetrik
|
|
12
|
Pestisida
|
mg/L
|
≤0,02
|
Nihil
|
Kromatografi Gas
|
|
Organoklorin
|
Cair
|
|||||
13
|
Polikhlorinated
|
mg/L
|
≤1,0
|
Nihil
|
Kromatografi Gas
|
|
Bifenil
(PCD)
|
Cair
|
|||||
Sulfaktan
|
mg/L
|
-
|
-
|
Spectrofotometrik
|
||||
(Detergen)
|
MBAS
|
|||||||
15
|
Logam-Semilogam
|
mg/L
|
≤0,003
|
0,0001
|
Reduksi/Penguapan
|
|||
Dingin,Spektroskopi
|
||||||||
-Raksa(Hg)
|
Serapan Atom
|
|||||||
Ko-presipitasi
|
||||||||
-Cr
(Heksavalen)
|
mg/L
|
≤0,01
|
0,00004
|
Spektroskopi
|
||||
Serapan
|
||||||||
-Ar (Arsen)
|
mg/L
|
≤0,01
|
0,0026
|
Atom
|
||||
-Selenium
|
mg/L
|
≤0,005
|
0,00045
|
Reduksi dengan
|
||||
Nyala Hidrogen
|
||||||||
-Cadmium
|
mg/L
|
≤0,01
|
0,00002
|
Ekstraksi Solven
|
||||
-Tembaga
|
mg/L
|
≤0,06
|
0,001
|
Ekstraksi Solven
|
||||
-Timbal
|
mg/L
|
≤0,01
|
0,00002
|
Spektrofotometrik
|
||||
Serapan Atom
|
||||||||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
|||
-Seng
|
mg/L
|
≤0,1
|
0,002
|
Ekstraksi Solven
|
||||
-Nikel
|
mg/L
|
≤0,002
|
0,007
|
Ekstraksi Solven
|
||||
-Perak
|
mg/L
|
≤0,05
|
0,0003
|
Ekstraksi Solven
|
||||
Biologi
|
||||||||
1
|
E.
Coloform
|
Sel/100 ml
|
≤ 1000
|
Nihil
|
MPN/Tabung
|
|||
Permentasi
|
||||||||
2
|
Patogen
|
Sel/100 ml
|
Nihil
|
Nihil
|
Biak Murni
|
|||
3
|
Plankton
|
-
|
Tidak
|
Tidak
|
Pencacahan
|
|||
blomming
|
bloong
|
|||||||
Radio Nuklida
|
||||||||
1
|
δ
|
pCi/l
|
≤1
|
Nihil
|
Pencacahan
|
|||
2
|
β
|
pCi/l
|
≤100
|
Nihil
|
Pencacahan
|
|||
3
|
Sr - 90
|
pCi/l
|
≤1
|
Nihil
|
Pencacahan
|
|||
4
|
Ra - 226
|
pCi/l
|
≤3
|
Nihil
|
Pencacahan
|
|||
Dari beberapa parameter fisika, kimia maupun biologi air laut diatas,
pada dasarnya ada beberapa parameter yang menjadi prioritas, diantaranya adalah
: kecerahan, salinitas, logam berat, pH, suhu, BOD, nitrit (NO2-N), amoniak (NH3-N), oksigen terlarut, bahan organik
dan sumber polutan (pencemaran).
a. Kecerahan
Perairan yang jernih secara
visual menandakan adanya kualitas air yang baik karena dalam air yang jernih
umumnya kandungan partikel-partikel terlarutnya rendah. Pada air yang kecerahannya tinggi, beberapa parameter kualitas air lain yang terkait
erat dengan bahan organik seperti pH, NO2-N, H2S, dan NH3-N cenderung rendah atau layak
untuk lokasi pembenihan.
Kekeruhan suatu perairan umumnya disebabkan oleh 2
faktor yaitu : blooming plankton dan tersuspensinya partikel tanah. Partikel
penyebab kekeruhan dapat menempel pada insang sehingga mengganggu pernapasan
organisme air. Kekeruhan juga dapat menyebabkan gangguan pada penetrasi cahaya
yang masuk dalam media air, sehingga dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton.
Dalam kadar yang terlalu pekat dapat mengakibatkan kematian.
Gambar 4.
Perairan yang keruh kurang layak untuk di jadikan lokasi hatchery.
b. Salinitas
Ikan kerapu khususnya Kerapu Macan dan Bebek
diketahui dapat hidup diperairan karang. Umumnya salinitas di perairan karang
adalah 30–35 ppt. Oleh karena itu lokasi hendaknya tidak berdekatan dengan
muara sungai besar, karena pada lokasi demikian salinitas air laut umumnya
fluktuatif . Pada musim kemarau salinitas sangat tinggi, sedangkan pada musim
penghujan pengaruh air tawar dari sungai akan menurunkan salinitas secara
drastis. Salinitas air yang tidak sesuai dengan kebutuhan ikan kerapu dapat
mengganggu kesehatan dan pertumbuhannya. Karena secara fisiologis salinitas
akan mempengaruhi fungsi organ osmoregulator ikan. Perbedaan salinitas air
media dengan tubuh ikan akan menimbulkan gangguan keseimbangan. Hal ini
mengakibatkan sebagian besar energi yang tersimpan dalam tubuh ikan digunakan
untuk penyesuaian diri terhadap kondisi yang kurang mendukung tersebut, sehingga dapat merusak sistem pencernaan dan
transportasi zat-zat makanan dalam darah.
c. Logam Berat
Logam berat adalah logam-logam
yang secara harfiah “berat” dengan densitas >5 gr/cm3. Beberapa diantaranya merupakan
unsur esensial bagi tubuh (Mn, Mo, Se, Cu, Zn, Co), tetapi banyak pula yang
sama sekali tidak dibutuhkan dalam proses metabolisme (Cd, Pb dan Hg). Terhadap
jenis logam yang disebutkan terakhir ini tubuh dapat menyerapnya dalam jumlah
tak terbatas karena tidak ada mekanisme tubuh yang dapat mengenali dan
menentukan batasnya.
Keberadaan logam berat pada suatu
perairan sering dijadikan indikator pencemaran limbah industri padahal tidak
selamanya demikian karena hal ini tergantung pada kadarnya. Logam berat dalam
bentuk ion atau komponen tertentu mudah larut dalam air, sehingga dapat diserap
tubuh ikan. Di dalam tubuh, ion berikatan dengan enzim dan menghambat
fungsinya. Senyawa kompleks logam berat dalam tubuh tidak dapat dicerna, maka
terjadilah bioakumulasi yang kemudian mengakibatkan biomagnifikasi. Meskipun
latar belakang konsentrasi logam berat dimasing-masing perairan berbeda, pada
umumnya dianggap bahwa kadar normal logam berat di air tercemar ±1µg/l, kecuali
Zn ±10 µg/l (Moss, 1980). Untuk keperluan penentuan lokasi pembenihan kerapu
tikus, akan lebih aman jika perairan calon lokasi terbebas dari logam-logam
berat. Hal ini untuk menghindari segala kemungkinan negatif yang dapat
ditimbulkan oleh akibat adanya logam berat tersebut.
d. Derajat Keasaman (pH)
Reaksi asam basa sangat berarti
bagi lingkungan, karena semua proses biologi hanya akan terjadi dalam kisaran
pH optimum. Derajat keasaman air laut umumnya alkalis yaitu antara 7–9. Hal ini
disebabkan di dalam massa air laut terdapat sistem penyangga (Buffer system). Derajat kesaman yang terlalu rendah umumnya karena adanya
pengaruh dari pH tanah dasar dari
perairan tersebut dan juga oleh adanya beberapa proses kimiawi. Menurut Boyd
(1982), dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan kandungan oksigen
terlarut, sekaligus menaikkan kandungan CO2 bebas sehingga mengakibatkan turunnya pH air. Beberapa contoh yang
dapat diakibatkan oleh pengasaman air antara lain:
-
Amoniak bersifat racun bagi ikan
dan organisme lain. Perbandingan ammonium : ammonia tergantung pada pH.
- Karbondioksida
(CO2) juga racun bagi ikan,
perbandingan hidrogen Karbonat : CO2 juga tergantung pada pH.
-
Fertilitas telur ikan dan zooplankton sangat
tergantung pada pH air.
- Semua
proses biologi mempunyai kisaran pH optimum biasanya antara 6-8, jadi pertumbuhan
alga, dekomposisi mikrobiologi, nitrifikasi dan denitrifikasi juga
dipengaruhi pH.
-
Pada pH rendah, ikatan logam
berat dengan tanah atau sediment sangat cepat dan mudah terlepas.
-
Kematian organisme perairan dapat terjadi pada pH 4
dan 11 (Brotohadikusumo, 1997).
Dalam pemilihan lokasi untuk pembenihan ikan
kerapu, cara yang paling sederhana untuk menilai pH adalah pada keberadaan
padang lamun, koral maupun hutan bakau, yang pada umumnya memiliki pH optimum.
e. Suhu
Suhu secara langsung berpengaruh
terhadap proses metabolisme ikan. Pada suhu tinggi metabolisme ikan dipacu,
sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses metabolisme diperlambat. Bila
keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan mengganggu kesehatan ikan.
Sedangkan secara tidak langsung suhu air yang tinggi menyebabkan oksigen dalam
air menguap, akibatnya ikan akan kekurangan oksigen.
f. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
BOD sangat erat kaitannya dengan eutrofikasi, yaitu
suatu proses pengkayaan zat hara di perairan (terutama oleh fosfat dan nitrat)
yang mengakibatkan habisnya gas oksigen terlarut. Zat-zat pengikat oksigen
kebanyakan adalah zat kimia organik. Zat kimia organik ini banyak dimanfaatkan
sebagai hara atau sumber energi oleh mikroorganisme. Dalam proses metabolisme
mikroba tersebut, zat kimia organik ini atau hara diuraikan menjadi senyawa
yang lebih sederhana, dan pada akhirnya menjadi elemen an organik dan gas.
Reaksi biokimia ini dapat terjadi karena adanya oksigen terlarut. Oleh karena
itu zat kimia organik tadi disebut sebagai zat-zat yang menimbulkan kebutuhan
akan oksigen (BOD). Semakin tinggi angka BOD suatu bahan air, semakin berat
derajat pencemaran organik air tersebut, karena di dalamnya terdapat sedemikian
banyak zat organik yang memerlukan oksigen dalam kelanjutan proses
dekomposisinya.
Angka BOD antara lain tergantung
pada jumlah dan jenis zat hara, zat kimia lain, jumlah dan tipe mikroba, suhu
serta pH. Zat hara tersebut dapat berasal dari beragam kegiatan pertanian atau
pemupukan, peternakan, deterjen, erosi dan limbah industri tertentu. Pengukuran
BOD seperti halnya COD juga dimaksudkan untuk mengetahui kandungan bahan
organik dalam suatu perairan serta untuk mengetahui sampai seberapa berat beban
polutan yang terjadi di perairan calon lokasi yang akan dipilih.
g. Amoniak dan Nitrit
Amoniak (NH3-N)) yang terkandung dalam suatu
perairan merupakan salah satu hasil dari proses penguraian bahan organik.
Amoniak ini berada dalam suatu bentuk amoniak tak ber-ion (NH3) dan amoniak ber-ion (NH4). Amoniak tak ber-ion bersifat
racun sedangkan amoniak ber-ion tidak. Menurut Boyd (1982), tingkat keracunan
amoniak tak ber-ion berbeda-beda untuk setiap spesies, tetapi pada kadar 0,6
mg/l dapat membahayakan organisme tersebut. Amoniak biasanya timbul akibat
kotoran organisme dan hasil aktifitas jasad renik dalam proses dekomposisi
bahan organik yang kaya akan nitrogen. Tingginya kadar amoniak biasanya diikuti
naiknya kadar nitrit, mengingat nitrit adalah hasil dari reaksi oksidasi
amoniak oleh bakteri Nitrosomonas.
Tingginya kadar nitrit terjadi akibat lambatnya perubahan dari nitrit ke nitrat
oleh bakteri Nitrobacter.
h. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut dalam perairan sangat dibutuhkan
semua organisme yang ada di dalamya untuk pernafasan dalam rangka melangsungkan
metabolisme dalam tubuh. Oksigen yang ada dalam air bisa masuk melalui difusi
dengan udara bebas, hasil fotosintesis dari tanaman dalam air dan adanya aliran
air baru. Dalam penentuan lokasi pembenihan kerapu kandungan oksigen perairan
tidak merupakan faktor utama, karena dalam operasionalnya, kebutuhan oksigen
dapat dipenuhi dari sumber pengudaraan tersendiri yaitu dengan memakai sumber
pengudaraan (blower). Akan tetapi kandungan oksigen suatu perairan perlu
diketahui untuk menduga kesuburan perairan tersebut secara keseluruhan dan
dapat dipakai untuk mengetahui kadar BOD maupun COD.
i. Bahan Organik
Bahan organik merupakan berbagai bentuk ikatan
kimia karbon dan nitrogen dengan unsur-unsur lain yang terikat yang terikat
pada atom karbon (Nebel, 1987). Bahan organik yang terkandung dalam perairan
biasanya berasal dari sisa-sisa organisme yang mati. Pengaruh bahan organik secara langsung pada organisme yang dipelihara
adalah gangguan sistem pernapasan. Kandungan bahan organik tinggi dapat
menyebabkan blooming fitoplankton,
hal ini dapat menurunkan kandungan oksigen yang akhirnya menurunkan kualitas
air. Selain akibat kompetisi oksigen, penguraian bahan organik oleh bakteri
juga membutuhkan oksigen yang cukup banyak. Penguraian bahan organik dapat juga
terjadi pada kondisi tanpa oksigen (anaerob) dengan produk akhir adalah senyawa
organik (asam) dan mikroba patogen yang memang bertahan hidup dalam keadaan
anaerob. Jika penguraian bahan organik terjadi dalam kondisi aerob maka yang
dihasilkan adalah unsur-unsur hara yang berguna bagi mikro alga nabati.
j. Sumber Polutan (pencemaran)
Pemantauan terhadap sumber cemaran terdekat perlu
diketahui sejak dini agar kemungkinan masuknya polusi ke perairan lokasi calon
pembenihan dapat diperhitungkan sebelum lokasi tersebut ditentukan. Pada Tabel 3. tercantum kisaran beberapa
parameter kualitas air laut yang penting dalam pembenihan kerapu dari hasil
kajian di BBL Lampung. Sumber polutan pada lingkungan perairan secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber tetap dan sumber tersebar. Sumber
polutan yang tetap berasal dari industri, sedangkan sumber polutan tersebar
berasal dari rumah tangga, peternakan, tempat akhir pembuangan sampah, limpasan
daerah pertanian dan sebagainya. Masing-masing sumber polutan dan karakteristiknya
disajikan dalam Tabel 4. Oleh karena
itu dalam penentuan lokasi pembenihan kerapu keberadaan sumber polutan perlu
dihindari.
Tabel 3. Standar Mutu Air Laut di Balai Budidaya Laut untuk Pembenihan
Kerapu
No
|
Parameter
|
Kisaran
Nilai
|
Satuan
|
1
|
Suhu
|
28-32
|
oC
|
2
|
Salinitas
|
30-32
|
ppt
|
3
|
Kesadahan
|
80 - 120
|
Mg/L
|
4
|
pH
|
7 - 8
|
-
|
5
|
DO
|
> 5
|
ppm
|
6
|
Phosphat
|
< 0,1
|
Mg/L
|
7
|
Amoniak
|
< 0,5
|
Mg/L
|
8
|
Kecerahan
|
Maksimum
|
-
|
9
|
NO2-N
|
< 0,1
|
Mg/L
|
10
|
NO3-N
|
< 0,5
|
Mg/L
|
Kelompok
|
Efek
|
Sumber
|
||||
Polutan
|
||||||
1.
|
Cemaran
|
yang
|
Deoksigenasi, kondisi an
|
Pabrik gula, alcohol, beer,
|
||
dapat
|
terurai
|
aerobic,
bau, mengakibatkan
|
pulp
dan kertas, susu,
|
|||
secara
|
biologis
|
ikan
mati, ternak keracunan,
|
lapisan
logam pabrik
|
|||
(BOD).
|
Racun
|
plankton
mati, akumulasi pada
|
NaOH,
pabrik bakteri,
|
|||
primer :
As,
|
CN,
|
ikan
dan moluska.
|
penyamakan
kulit, refining
|
|||
Cr, Cd,
Co, F, Hg,
|
bauksit.
|
|||||
Pb, Zn
|
||||||
2.
|
Asam dan Basa
|
Mengakibatkan rusaknya buffer
|
Drainase tambang batu
|
|||
pH,
gangguan ekosistem
|
bara,
manufaktur bahan
|
|||||
perairan.
|
kimia
tekstil, scouring
|
|||||
wool,
laundry.
|
||||||
3.
|
Desinfektan
|
Cl2,
|
Mematikan secara selektif
|
Pemutihan kertas dan
|
||
H2O2, Formalin,
|
mikroba,
rasa, bau, terbentuknya
|
tekstil,
manufaktur warna
|
||||
Phenol
|
senyawa
Trihalometana.
|
dan
bahan kimia,
|
||||
pembuatan
gas, coke, tar.
|
||||||
4.
|
Ion: Fe,
|
Mn,
|
Ca,
|
Mengubah karakteristik air
|
Metalurgi semen, keramik.
|
|
Mg, Cl,
SO4
|
noda,
kesadahan, salinitas,
|
|||||
kerak.
|
||||||
5.
|
Zat
|
Pengoksidasi
|
Kesuburan
|
Gas dan coke, pabrik
|
||
dan
|
Pereduksi
|
berlebihan,bau,pertumbuhan
|
pupuk,manufactur
zat
|
|||
:NH3, NO2, NO3,
|
pesat
bakteri selektif.
|
warna
dan serat
|
||||
S, SO3
|
sintetik,pulping.
|
|||||
6.
|
Cemaran
|
yang
|
Buih,padatan
|
Detergen,penyamakan
|
||
dapat
|
terlihat
|
dan
|
mengendap,bau,minyak,
|
kulit,prosesing
bahan
|
||
tercium
|
emak,kematian
ikan,hewan air
|
makan,pengilangan
|
||||
dan
burung.
|
minyak
pabrik gula.
|
|||||
7.
|
Organisme
|
Infeksi pada manusia dan
|
Limbah rumah potong
|
|||
Patogen
: Bacillus
|
reinfeksi
hewan.
|
hewan,
Peternakan,
|
||||
Anthracis, Fungi,
|
prosesing
wool.
|
|||||
Virus
|
||||||
k. Red Tide
Red Tide merupakan sebuah fenomena alam air laut
yang berubah warna menjadi merah yang disebabkan oleh ganggang api pada musim
tertentu (fitoplankton). Red Tide dapat menyebabkan kematian massal biota laut,
perubahan struktur komunitas ekosistem perairan, keracunan dan juga bisa
menyebabkan kematian pada manusia. Ini terjadi dikarenakan fitoplankton
tersebut mengeluarkan racun. Pada wilayah perairan yang sudah pernah terjadi
red tide akan memungkinkan kembali terjadi Red Tide dalam periode waktu yang sama. oleh karena itu sebaiknya pemilihan wilayah perairan
seperti ini di hindari karena dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar.
2.
Kualitas
Tanah, Elevasi Lahan dan Pasang Surut
Dalam mendirikan suatu bangunan
dalam hal ini untuk kegiatan pembenihan kerapu tidak lepas dari penentuan tanah
yang akan digunakan. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah sifat
fisik tanah, meliputi sifat partikel tanah. Sifat kimia tanah hanya perlu
diukur jika akan membuka kegiatan perikanan yang langsung berhubungan dengan
tanah, seperti : pertambakan atau kolam. Sedangkan sifat partikel tanah perlu
diperhitungkan jika diatasnya akan didirikan suatu bangunan.
Sifat partikel tanah yang paling penting dalam
pembentukan karakter tanah adalah sifat hubungan partikel lainnya. Struktur
tanah lepas (pasir) dan remah serta kemampuan drainase merupakan unsur pokok
yang perlu diperhitungkan dalam menganalisa keadaan fisik tanah. Struktur lepas
(berpasir) lebih mudah tererosi dibandingkan struktur tanah yang remah maupun
liat. Akibatnya bila dibagian atasnya terdapat beban berat (beton/besi)
lama-kelamaan akan rusak atau retak jika konstruksinya jelek. Oleh karenanya
pemilihan lokasi sebaiknya memiliki tanah yang partikelnya padat selain itu
juga dapat menghindari penimbunan yang memerlukan biaya dan tenaga. Hamparan
pantai calon lokasi sebaiknya landai dan tidak terlalu terjal, hal ini seperti
tersebut di atas berkaitan juga dengan modal dan teknis operasionalnya nanti.
Ketinggian lokasi pembenihan sebaiknya pada areal 0,5 m di atas pasang
tertinggi dan periode pasang harian minimal 6 jam.
C.
FAKTOR
NON TEKNIS
Faktor non teknis merupakan
pelengkap dan pendukung fakltor-faktor teknis dalam memilih lokasi untuk
pembenihan ikan kerapu. Dalam penentuan calon lokasi pembenihan, pertama kali
perlu diketahui tentang peruntukan suatu wilayah yang biasanya telah terpetakan
dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan tata guna lahan. Memperhatikan RUTR
suatu wilayah untuk menghindari konflik kepentingan antar masyarakat atau
pengguna sumber daya tersebut. Pembangunan lokasi pembenihan yang dekat untuk
kegiatan perikanan akan menimbulkan efek negatif terhadap resiko usaha,
kesulitan dalam memperoleh perizinan dan terancamnya kelangsungan usaha dimasa
yang akan datang.
DAFTAR BACAAN
Boyd, C.E. 1982. Water Quality
Management for Pond Fish Culture Development in Aquaculture and Fish Science,
vol. 9. Elsevier Scintific Pub. Com. 318 p.
Brotohadikusumo, N. A., 1997.
Dampak Pembangunan Fisik Terhadap Biota Perairan. PPLH UNDIP. Semarang.
KEP. MENKLH No. KEP-02/ MENKLH/
1/ 1988. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut (Budidaya Perairan).
Moss B., 1980. Ecology of Fish
Waters, Blackwell Scintific Publication, London, UK.
Nebel, B.J., 1987. Environmental
Science. The Way the World Works. Prentice Hall, Inc.
England
Cliffs, Newjersey.
Sim.S.Y., Rimmer,M.A.,
Toledo.J.D., Sugama,K., Rumengan,I., William,K.C., Philips,M.J. 2005. Panduan Teknologi Hatchery Ikan Laut
Skala Kecil. NACA,Bangkok Thialand. 17 pp
Sugama,K., Rimmer,M.A., Ismi,S.,
Koesharyani,I., Suwirya, K., Giri, N.A., dan Alava , V.R.
2013. Pengelolaan pembenihan kerapu macan ( Epinephelus fuscoguttatus). Suatu panduan Praktik terbaik. ACIAR
Canberra.66 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar