BIOLOGI
KERAPU
A. LATAR BELAKANG
Ikan kerapu tergolong dalam famili Serranidae,
tubuhnya tertutup oleh sisik-sisik kecil. Kebanyakan hidup di perairan terumbu
karang dan sekitarnya, adapula yang hidup disekitar muara sungai. Menurut
Nontji (1987) nama kerapu biasanya digunakan untuk empat genus anggota famili
Serranidae yaitu Epinephelus, Variola,
Plectropomus dan Cromileptes. Sebagian besar Genus anggota famili
Serranidae hidup di perairan relatif dangkal dengan dasar terumbu karang,
tetapi beberapa jenis diantaranya dapat ditemukan pada kedalaman sekitar 300
meter. Dalam buku ini hanya diuraikan tentang 2 species kerapu yaitu Kerapu
Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan
Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis).
B. TAKSONOMI DAN MORFOLOGI KERAPU
Menurut
Heemstra dan Randall (1993), sistematika Kerapu Macan adalah :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichtyes
Subclass
: Actinopterygii
Ordo :
Percomorphi (Perciformes)
Sub ordo:
Percoidea
Family:
Serranidae
Genus : Epinephelus
Spesies: Epinephelus fuscoguttatus
Phylum : Chordata
Subphylum:
Vertebrata
Class:
Osteichtyes
Subclass
: Actinopterigi
Ordo:
Percomorphi
Sub ordo:
Percoidea
Family:
Serranidae
Genus : Cromileptes
Spesies :
Cromileptes altivelis
Identifikasi Kerapu Macan pertama kali dilakukan
oleh Weber and Beaufort (1931), keduanya mendeskripsikan ikan tersebut
mempunyai bentuk badan yang memanjang gepeng (compressed) atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan
bibir bawah menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi
geratan berderet dua baris, lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan
adalah gigi yang terbesar. Sirip ekor umumnya membulat (rounded), sirip punggung memanjang dimana bagian jari-jarinya yang
keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya, jari-jari sirip
yang keras berjumlah 6–8 buah,
sedangkan sirip dubur berjumlah 3 buah, jari-jari sirip ekor berjumlah
12–17 dan bercabang dengan jumlah 13–15. Warna dasar sawo matang, perut bagian
bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah kecoklatan
serta tampak pula 4–6 baris warna gelap yang melintang hingga keekornya. Badan
ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng (Gambar 1.)
Gambar 1.
Kerapu Macan
Diskripsi yang dilakukan Swanson dalam Randall (1987) Kerapu Bebek
mempunyai sirip dorsal X, 17–19; sirip anal III, 10; sirip pectoral 17–18;
sirip garis lateral 53–55; sisik berbentuk sikloid; bagian dorsal meninggi
berbentuk concave (cembung); tebal tubuh 2,6–3,0 inchi SL; tidak mempunyai gigi
canine; lobang hidung besar berbentuk bulan sabit vertical; sirip caudal
membulat. Warna kulit terang abu abu kehijauan dengan bintik bintik hitam
diseluruh kepala, badan dan sirip. Kerapu Bebek muda bintik hitamnya lebih
besar dan lebih sedikit. Menurut Valenciennes dalam Randall (1987), Kerapu Bebekmempunyai panjang maksimum 70 cm
(Gambar 2).
Gambar 2. Kerapu Bebek
C. PENYEBARAN DAN HABITAT
Daerah penyebaran Kerapu Macan dimulai dari Afrika
Timur, Kepulauan Ryukyu (Jepang Selatan), Australia, Taiwan, Mikronesia dan
Polinesia (Katayama, 1960). Sedangkan Kerapu Bebek menyebar mulai dari Afrika
Timur sampai Pasifik Barat Daya (Valencennes dalam Randall, 1987). Menurut Weber dan Beaufort (1931), di
Indonesia ikan kerapu banyak ditemukan
diperairan Pulau Sumatera, Jawa, Selawesi, Pulau Buru dan Ambon. Salah satu
indikator adanya kerapu adalah perairan karang. Indonesia memilki perairan
karang yang cukup luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapu sangat besar
(Tampubolon dan Mulyadi, 1989).
Dalam siklus hidupnya kerapu muda hidup di perairan
karang pantai dengan kedalaman 0,5–3,0 m, selanjutnya menginjak masa dewasa
beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7,0–40 m, biasanya perpindahan ini
berlangsung pada siang dan senja hari.
Telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu
muda hingga dewasa bersifat demersal (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Habitat
favorit larva dan kerapu muda adalah perairan pantai dekat muara sungai dengan
dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun (Anonymous, 1991).
Powles dalam
Leis (1987) telah melakukan studi distribusi vertikal pada berbagai jenis larva
ikan kerapu dengan menggunakan jaring neuston dan jaring bongo. Larva kerapu
pada umumnya menghindari permukaan air pada siang hari, sebaliknya pada malam
hari lebih banyak ditemukan di permukaan air. Penyebaran vertikal tersebut
sesuai dengan sifat ikan kerapu sebagai organisme nokturnal, pada siang hari
lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang sedangkan pada malam hari aktif
bergerak di kolom air untuk mencari makan.
Parameter kualitas air yang cocok untuk pertumbuhan
ikan kerapu yaitu temperatur antara 24–31 0C, salinitas antara 30–33 psu, kandungan oksigen terlarut lebih besar
dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8–8,0 (Yoshimitsu et al, 1986). Menurut Nybakken (1988) perairan dengan kondisi
tersebut diatas pada umumnya terdapat diperairan terumbu karang.
D. SIKLUS REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN GONAD
Ikan kerapu bersifat hermaprodit protogini, yaitu
pada perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan
akan berubah menjadi jantan apabila ikan tersebut tumbuh menjadi lebih besar
atau bertambah tua umurnya. Fenomena perubahan jenis kelamin pada kerapu sangat
erat hubungannya dengan aktifitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran.
Pada Kerapu Macan, fase reproduksi betina tercapai pada panjang tubuh minimum
450–550 mm (umur ± 5 tahun) dengan berat tubuh 3–10 kg selanjutnya menjadi jantan matang
kelamin pada ukuran panjang minimum 740 mm dengan berat tubuh 11 kg (Tan dan
Tan, 1974). Hassa dan Carlos (1993) telah melakukan studi pematangan gonad pada
ikan Kerapu Macan dan mendapatkan hasil bahwa fase reproduksi kerapu macan
dapat dicapai pada ukuran berat 1–3 kg, dengan fekunditas antara 300.000 s.d
700.000 telur. Sedangkan Chen et. al.
(1977) mengatakan bahwa pada jenis E.
diacanthus kecenderungan perubahan
kelamin terjadi selama masa non reproduksi yakni antara umur 2–6 tahun, tetapi
perubahan terbaik terjadi antara umur 2–3 tahun dan perubahan itu terus
berlangsung sepanjang tahun kecuali dua bulan selama masa kematangan gonad. Secara
garis besar dapat
dikatakan peralihan perubahan kelamin akan terjadi
selama tidak dalam musim pemijahan, dan perubahan kelamin segera dijumpai
sesudah pemijahan berlangsung.
Pada Kerapu Bebek, untuk
memperoleh jantan telah dicoba dengan pemberian hormon 17-alpha methyl testosteron 0,3 IU/kg 2–3 kali seminggu pada calon
induk dengan berat 1–1,25 kg. Dari hasil uji joba di BBPBL Lampung tersebut
ternyata ikan jantan dengan berat 1–2 kg sudah mampu menghasilkan sperma, tapi
belum fungsional, sedangkan sperma yang dihasilkan ikan jantan dengan berat
lebih dari 2,5 kg sudah mampu membuahi telur yang dihasilkan ikan betina.
Pada umumnya kerapu bersifat soliter tetapi pada
saat mau memijah bergerombol, di perairan Indo Pasifik puncak pemijahan
berlangsung beberapa hari sebelum bulan purnama yaitu pada malam hari
(Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Dari hasil pengamatan di wilayah Indonesia,
musim-musim pemijahan ikan kerapu terjadi pada bulan Juni-September dan
November-Februari terutama di perairan kepulauan Riau, Karimun Jawa dan Irian
Jaya (Sugama, 1995). Beberapa spesies ikan kerapu mempunyai musim pemijahan 6–8
kali/tahun sedangkan pemijahan pertama (pre-spawning) 1–2 kali/ tahun (Shapiro,
1987).
E. PERKEMBANGAN EMBRIO DAN KEBIASAAN MAKAN LARVA
1.
Perkembangan Embrio
Berdasarkan pengamatan mikroskopis dapat diketahui
bahwa telur kerapu berbentuk bulat tanpa kerutan, cenderung menggerombol pada
kondisi tanpa aerasi dan kuning telur tersebar merata. Telur transparan dengan
diameter ± 850 mikron dan tidak memiliki ruang perivitelline. Perkembangan
embrional telur sejak pembuahan sampai penetasan membutuhkan waktu paling tidak
19 jam, dimana pembelahan sel pertama kali terjadi 40 menit setelah pembuahan.
Pembelahan sel berikutnya berlangsung 15–30 menit sampai mencapai tahap multi
sel selama 2 jam 25 menit. Setelah tahap multi sel, tahapan berikutnya adalah
blastula, grastula, neorula, dan embrio. Gerakan pertama pada embrio terjadi
pada jam ke-16 setelah pembuahan, selanjutnya telur menetas menjadi larva pada
jam ke-19 pada suhu 27–29 oC (Tabel 1.).
Tabel 1. Perkembangan Embrional Kerapu
FASE
|
WAKTU
PERKEMBANGAN
|
|
(Jam )
|
||
Pembuahan telur
|
00.00
|
|
1 sel
|
00.40
|
|
2 sel
|
01.00
|
|
4 sel
|
01.15
|
|
8 sel
|
01.30
|
|
16 sel
|
0145
|
|
32 sel
|
02.00
|
|
64 sel
(multi sel)
|
02.25
|
|
Morula
|
02.50
|
|
Blastula
|
03.30
|
|
Grastula
|
05.45
|
|
Embriyonic
shield cover ½ yolk
|
07.00
|
|
Embriyonic
shield cover ¾ yolk
|
08.00
|
|
Neurula
|
08.10
|
|
Embriyonic
body with 6 myomere
|
10.30
|
|
Embriyonic
body about ½ yolk
|
11.30
|
|
Embriyonic
body with optiv lobe, 16 myomere
|
12.30
|
|
Auditory
vessicle appeared
|
14.30
|
|
Pembentukan
lensa optik dan otolit
|
14.55
|
|
Pergerakan
pertama
|
15.55
|
|
Denyut
jantung
|
17.05
|
|
Menetas
|
19.05
|
|
Sumber :
Hassa dan Carlos (1993).
2. Kebiasaan
Makan Larva
Larva Kerapu Macan yang baru menetas mempunyai panjang total tubuh
sekitar 2,0–2,5 mm, membawa kantong kuning telur dengan diameter 1,0–1,2 mm.
Didalam kantong kuning telur terdapat gelembung minyak dengan diameter 0,2 mm
terletak pada bagian posterior.
Sedangkan pada Kerapu Bebek, larva yang baru
menetas mempunyai panjang total 1,70–1,78 mm. Mata belum berpigmen, mulut dan
anus belum terbuka. Perkembangan berikutnya tubuh semakin panjang, sedangkan
kantong telur dan gelembung minyak semakin mengecil. Pembentukan sirip punggung
mulai terjadi pada hari pertama. Pada hari ke dua sirip dada mulai terbentuk
dan jaringan usus telah berkembang sampai ke anus. Berikutnya pada hari ke tiga
mulai terjadi pigmentasi saluran pencernaan bagian atas dan bukaan mulut
berukuran sekitar 125 µ. Hari ke empat kuning telur telah habis terabsorbsi.
Periode perkembangan larva kerapu
sampai tahap metamorfosis penuh membutuhkan waktu 35–40 hari pada suhu 27–29 oC. Setelah menetas sampai dengan
hari ke tiga larva mendapatkan pakan secara endogenus yaitu dengan mengabsorbsi
kuning telur yang dibawanya, kemudian mulai mendapatkan pakan secara eksogenous
pada hari ke tiga seiring dengan mulai terbukanya mulut. Sesuai dengan bukaan
mulut, larva kerapu mulai memangsa rotifer sebagai pakan pertama.
Peralihan antara mendapatkan pakan secara
endogenous ke eksogenous merupakan fase kritis pertama dalam perkembangan larva
sehingga sering terjadi kematian massal antara 50–90 %. Kohno et al (1990) telah menganalisa
sebab-sebab kematian massal pada peralihan pola makan dari enodogenous ke
eksogenous dengan menghitung time leeway
yaitu waktu antara larva mulai buka mulut sampai larva mulai bisa memangsa
pakan dari luar. Dari hasil analisa didapat penyerapan gelembung minyak terjadi
selama 92,5–94 jam sejak ditetaskan, penyerapan kuning telur terjadi 71–87 jam
sejak penetasan, mulai buka mulut 55 jam dan jarak antara waktu larva mulai
makan sampai semua larva makan adalah 69–92,5 jam sejak penetasan. Dari hasil
analisa tersebut diperoleh time leeway -21,5 dan 18 jam. Jika time leeway
negatif (minus 21,5) maka hampir dapat dipastikan 90% larva akan mati pada
hari ke tiga, karena kuning telur
telah terserap habis 71 jam sejak ditetaskan, sedangkan larva mulai memangsa
pakan dari luar 21,5 jam kemudian yaitu 92,5 jam sejak ditetaskan. Sebaliknya
bila time leeway positif (18 jam) maka kemungkinan sebagian besar larva dapat
bertahan hidup.
Selanjutnya Muchari et. al.(1991) mengutip pendapat Blaxter dan Hempal dalam Tseng dan Chan (1985) kematian
yang terjadi pada larva hari ke lima dan seterusnya dapat terjadi karena
disebabkan oleh fenomena point of no
return yaitu suatu keadaan hanya 50% larva yang mampu makan pada kondisi dimana jumlah pakan optimal,
sedangkan sisanya tidak mampu lagi memangsa pakan yang tersedia. Point of no return dapat terjadi karena
kesalahan dalam menentukan jadwal pemberian pakan dan rendahnya mutu pakan.
Sebagaimana jenis-jenis ikan kerapu lainnya, kerapu
bersifat karnivor terutama larva molusca (trokofor), rotifer, krustase kecil,
kopepoda dan zooplankton untuk larva, sedangkan untuk ikan kerapu yang lebih
dewasa, ikan-ikan kecil, krustase dan cephalopoda. Menurut Nybakken (1988)
sebagai ikan karnivor, kerapu juga menangkap mangsa yang aktif bergerak di
dalam kolom air. Kerapu mempunyai kebiasaan makan pada siang dan malam hari dan
lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989).
Kerapu biasa mencari makan dengan menyergap mangsa dari tempat
persembunyiannya. Kerapu lumpur dan macan mempunyai kemampuan menangkap mangsa
lebih cepat dari pada kerapu sunu (Anonymous, 1991). Berdasarkan perilaku
makan, ikan kerapu menempati struktur tropik teratas dalam piramida rantai
makanan (Randall, 1987). Sebagai ikan karnivora kerapu mempunyai sifat buruk
yaitu kanibalisme. Kanibalisme merupakan salah satu penyebab kegagalan
pemeliharaan dalam usaha pembenihan. Sifat kanibalisme mulai muncul pada larva
kerapu umur 30 hari, penyebab munculnya kanibalisme diantaranya adalah
ketersediaan pakan kurang, sehingga diantara benih saling memangsa.
Dibandingkan ikan Kerapu Macan, sifat kanibalisme pada Kerapu Bebek lebih
rendah.
DAFTAR BACAAN
Anonymous. 1991. Operasional
Pembesaran Ikan Kerapu Dalam Karamba Jaring Apung.
Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros,
Balitbangtan, Deptan, Jakarta.
Chen, F.Y.M. Chow, T.M. Chow, and
R. Lin, 1977. Artificial Spawning ang Larval Rearing of the Grouper,
Epinephelus tauvina, in Singapore. Singapore J. Pri. Ind. 5 (1) : 1-2.
Chen, F. Y.. M. Chow, and R.
Lin,1997. Article Spawning and larvar Rearing of the Grouper, Epinephelus tauvina Forskal, Culture in
Floating Net Cages. Aquaculture (14) p 31-37.
Hassa, M. S., Carlos, M. H.,
1993. Mutaration, Spawning, and Egg Hatching of the Groupers Epinephelus fuscoguttatus (Forskal) and Plectropomus aerolatus (Ruppel) from
the Red Sea In S.A. Al
Thobaiti, H. M. Al Hindy (editors), Aquaculture Technology and Investment Oppor
tunities : Proceeding of The First International Symposiumon Aquaculture
Technology and Invesment Opportunities. Riyadh-Saudi Arabia.
Heemstra P.C., J.E., Randall,
1993. FAO Species Catalog Vol. 16 : Grouper of The World (Family Serranidae, Subfamily
Ephinephelus). Rome. Food and Agriculture Organization of The United Nation.
Katayama, M. 1960. Fauna Javonica
Serranidae (Piscea) Biogeograpical
Society of Japan.
Tokyo new
Service. Ltd. Ginza Nishi. Japan.
Kohno, H., S. Diani, P. Sunyoto,
B. Slamet and P.T. Imanto, 1990. Early developmental events associated with
changeover of nutrient source in the grouper Epinephelus fuscoguttatus larvae.
Bull. Penelitian Perikanan. Special Edition No. 1. P : 51-56.
Leis, J. M., 1987. Review of the
early life history of tropical groupers (Serranidae) and snappers (Lutjanidae) In
J. J. Polovina, S. Ralston (editors), Tropical Snappers and Groupers : Biology
and Fisheries Management. Westview press, Inc., Boulder and London.
.
Lim. K. J., C. L. Yen, T.S.
Huang, C. Y. Liu and C. L. Chen. 1986. Experiment of Fry Nursing of Epinephelus salmoides (locepede) and its
morfology. Study. Bull. Taiwan Fish Res. Inst.
Muchari, A. Supriatna, Resmayati
Purba, T. Achmad dan Hiroshi Kohno, 1991. Pemeliharaan Larva Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Makalah
Seminar on Marine Finfish Culture, Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara,
Penerbit Djembatan - Jakarta.
Nybakken, J. W., 1988. Biologi
Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia – Jakarta.
Randall, J. E., (1987). A
Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes : Serranidae; Epinephelinae)
of the Indo- Pacific Region In J. J. Polovina, S. Ralston (Editors),
Tropical Snappers and Groupers : Biology and Fisheries Management. Westview
press, Inc., Boulder and London.
Shapiro, D. Y., 1987.
Reproduction in Groupers In J. J. Polovina, S. Ralston (editors),
Tropical Snappers and Groupers : Biology and Fisheries Management. Westview
Press, Inc., Boulder and London.
Smith, 1982. Introduction to Fish
Physiologi. Publication Inc. England. P. 115.
Sugama, K., Artaty Wijono. 1995.
Tekonologi Pembenihan dan Pengadaan Ikan Laut. Prossiding Temu Usaha
Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung Bagi Budidaya Laut. Jakarta.
Tampubolon, G. H. dan E. Mulyadi.
1989. Synopsis Ikan Kerapu di Perairan Indonesia.
Balitbangkan,
Semarang.
Tan, S.M. and K. S. tan, 1974.
Biology of Tropical Grouper, Epinephelus
tauvina Forskal. A Preliminary Study on Hermaproditism in E. tauvina. Singapore J. Pri. Ind. 2 (2)
: p 123-133.
Weber and l. F. De Beaufort.
1931. The Fishies of Indonesia – Australia Archipelago. Leiden.
Yoshimitsu, T., H. Eda, and K.
Hiramitsu. 1986. Groupers Final Report Marineculture Research and Development
in Indonesia. ATA 192, JICA. p 103-129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar