Senin, 23 Maret 2020

BIOLOGI KERAPU


BIOLOGI KERAPU




  
A. LATAR BELAKANG


Ikan kerapu tergolong dalam famili Serranidae, tubuhnya tertutup oleh sisik-sisik kecil. Kebanyakan hidup di perairan terumbu karang dan sekitarnya, adapula yang hidup disekitar muara sungai. Menurut Nontji (1987) nama kerapu biasanya digunakan untuk empat genus anggota famili Serranidae yaitu Epinephelus, Variola, Plectropomus dan Cromileptes. Sebagian besar Genus anggota famili Serranidae hidup di perairan relatif dangkal dengan dasar terumbu karang, tetapi beberapa jenis diantaranya dapat ditemukan pada kedalaman sekitar 300 meter. Dalam buku ini hanya diuraikan tentang 2 species kerapu yaitu Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis).


B. TAKSONOMI DAN MORFOLOGI KERAPU


Menurut Heemstra dan Randall (1993), sistematika Kerapu Macan adalah :

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Osteichtyes

Subclass : Actinopterygii

Ordo : Percomorphi (Perciformes)

Sub ordo: Percoidea

Family: Serranidae

Genus : Epinephelus

Spesies: Epinephelus fuscoguttatus


   
Menurut Randall (1987), sistematika Kerapu Bebek adalah:

Phylum : Chordata

Subphylum: Vertebrata

Class: Osteichtyes

Subclass : Actinopterigi

Ordo: Percomorphi

Sub ordo: Percoidea

Family: Serranidae

Genus : Cromileptes

Spesies : Cromileptes altivelis


Identifikasi Kerapu Macan pertama kali dilakukan oleh Weber and Beaufort (1931), keduanya mendeskripsikan ikan tersebut mempunyai bentuk badan yang memanjang gepeng (compressed) atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi geratan berderet dua baris, lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan adalah gigi yang terbesar. Sirip ekor umumnya membulat (rounded), sirip punggung memanjang dimana bagian jari-jarinya yang keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya, jari-jari sirip yang keras berjumlah 6–8 buah,

sedangkan sirip dubur berjumlah 3 buah, jari-jari sirip ekor berjumlah 12–17 dan bercabang dengan jumlah 13–15. Warna dasar sawo matang, perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah kecoklatan serta tampak pula 4–6 baris warna gelap yang melintang hingga keekornya. Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng (Gambar 1.)




Gambar 1. Kerapu Macan


   
Diskripsi yang dilakukan Swanson dalam Randall (1987) Kerapu Bebek mempunyai sirip dorsal X, 17–19; sirip anal III, 10; sirip pectoral 17–18; sirip garis lateral 53–55; sisik berbentuk sikloid; bagian dorsal meninggi berbentuk concave (cembung); tebal tubuh 2,6–3,0 inchi SL; tidak mempunyai gigi canine; lobang hidung besar berbentuk bulan sabit vertical; sirip caudal membulat. Warna kulit terang abu abu kehijauan dengan bintik bintik hitam diseluruh kepala, badan dan sirip. Kerapu Bebek muda bintik hitamnya lebih besar dan lebih sedikit. Menurut Valenciennes dalam Randall (1987), Kerapu Bebekmempunyai panjang maksimum 70 cm (Gambar 2).



Gambar 2. Kerapu Bebek



C. PENYEBARAN DAN HABITAT


Daerah penyebaran Kerapu Macan dimulai dari Afrika Timur, Kepulauan Ryukyu (Jepang Selatan), Australia, Taiwan, Mikronesia dan Polinesia (Katayama, 1960). Sedangkan Kerapu Bebek menyebar mulai dari Afrika Timur sampai Pasifik Barat Daya (Valencennes dalam Randall, 1987). Menurut Weber dan Beaufort (1931), di Indonesia ikan kerapu banyak ditemukan diperairan Pulau Sumatera, Jawa, Selawesi, Pulau Buru dan Ambon. Salah satu indikator adanya kerapu adalah perairan karang. Indonesia memilki perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapu sangat besar (Tampubolon dan Mulyadi, 1989).


Dalam siklus hidupnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5–3,0 m, selanjutnya menginjak masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7,0–40 m, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang dan senja hari.

    
Telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Habitat favorit larva dan kerapu muda adalah perairan pantai dekat muara sungai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun (Anonymous, 1991).


Powles dalam Leis (1987) telah melakukan studi distribusi vertikal pada berbagai jenis larva ikan kerapu dengan menggunakan jaring neuston dan jaring bongo. Larva kerapu pada umumnya menghindari permukaan air pada siang hari, sebaliknya pada malam hari lebih banyak ditemukan di permukaan air. Penyebaran vertikal tersebut sesuai dengan sifat ikan kerapu sebagai organisme nokturnal, pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang sedangkan pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makan.


Parameter kualitas air yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperatur antara 24–31 0C, salinitas antara 30–33 psu, kandungan oksigen terlarut lebih besar dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8–8,0 (Yoshimitsu et al, 1986). Menurut Nybakken (1988) perairan dengan kondisi tersebut diatas pada umumnya terdapat diperairan terumbu karang.


D. SIKLUS REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN GONAD


Ikan kerapu bersifat hermaprodit protogini, yaitu pada perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan akan berubah menjadi jantan apabila ikan tersebut tumbuh menjadi lebih besar atau bertambah tua umurnya. Fenomena perubahan jenis kelamin pada kerapu sangat erat hubungannya dengan aktifitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran. Pada Kerapu Macan, fase reproduksi betina tercapai pada panjang tubuh minimum 450–550 mm (umur ± 5 tahun) dengan berat tubuh 3–10 kg selanjutnya menjadi jantan matang kelamin pada ukuran panjang minimum 740 mm dengan berat tubuh 11 kg (Tan dan Tan, 1974). Hassa dan Carlos (1993) telah melakukan studi pematangan gonad pada ikan Kerapu Macan dan mendapatkan hasil bahwa fase reproduksi kerapu macan dapat dicapai pada ukuran berat 1–3 kg, dengan fekunditas antara 300.000 s.d 700.000 telur. Sedangkan Chen et. al. (1977) mengatakan bahwa pada jenis E. diacanthus kecenderungan perubahan kelamin terjadi selama masa non reproduksi yakni antara umur 2–6 tahun, tetapi perubahan terbaik terjadi antara umur 2–3 tahun dan perubahan itu terus berlangsung sepanjang tahun kecuali dua bulan selama masa kematangan gonad. Secara garis besar dapat

  
  
dikatakan peralihan perubahan kelamin akan terjadi selama tidak dalam musim pemijahan, dan perubahan kelamin segera dijumpai sesudah pemijahan berlangsung.


Pada Kerapu Bebek, untuk memperoleh jantan telah dicoba dengan pemberian hormon 17-alpha methyl testosteron 0,3 IU/kg 2–3 kali seminggu pada calon induk dengan berat 1–1,25 kg. Dari hasil uji joba di BBPBL Lampung tersebut ternyata ikan jantan dengan berat 1–2 kg sudah mampu menghasilkan sperma, tapi belum fungsional, sedangkan sperma yang dihasilkan ikan jantan dengan berat lebih dari 2,5 kg sudah mampu membuahi telur yang dihasilkan ikan betina.


Pada umumnya kerapu bersifat soliter tetapi pada saat mau memijah bergerombol, di perairan Indo Pasifik puncak pemijahan berlangsung beberapa hari sebelum bulan purnama yaitu pada malam hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Dari hasil pengamatan di wilayah Indonesia, musim-musim pemijahan ikan kerapu terjadi pada bulan Juni-September dan November-Februari terutama di perairan kepulauan Riau, Karimun Jawa dan Irian Jaya (Sugama, 1995). Beberapa spesies ikan kerapu mempunyai musim pemijahan 6–8 kali/tahun sedangkan pemijahan pertama (pre-spawning) 1–2 kali/ tahun (Shapiro, 1987).


E. PERKEMBANGAN EMBRIO DAN KEBIASAAN MAKAN LARVA


1. Perkembangan Embrio


Berdasarkan pengamatan mikroskopis dapat diketahui bahwa telur kerapu berbentuk bulat tanpa kerutan, cenderung menggerombol pada kondisi tanpa aerasi dan kuning telur tersebar merata. Telur transparan dengan diameter ± 850 mikron dan tidak memiliki ruang perivitelline. Perkembangan embrional telur sejak pembuahan sampai penetasan membutuhkan waktu paling tidak 19 jam, dimana pembelahan sel pertama kali terjadi 40 menit setelah pembuahan. Pembelahan sel berikutnya berlangsung 15–30 menit sampai mencapai tahap multi sel selama 2 jam 25 menit. Setelah tahap multi sel, tahapan berikutnya adalah blastula, grastula, neorula, dan embrio. Gerakan pertama pada embrio terjadi pada jam ke-16 setelah pembuahan, selanjutnya telur menetas menjadi larva pada jam ke-19 pada suhu 27–29 oC (Tabel 1.).



  

Tabel 1. Perkembangan Embrional Kerapu

FASE
WAKTU PERKEMBANGAN
(Jam )



Pembuahan telur
00.00
1 sel
00.40
2 sel
01.00
4 sel
01.15
8 sel
01.30
16 sel
0145
32 sel
02.00
64 sel (multi sel)
02.25
Morula
02.50
Blastula
03.30
Grastula
05.45
Embriyonic shield cover ½ yolk
07.00
Embriyonic shield cover ¾ yolk
08.00
Neurula
08.10
Embriyonic body with 6 myomere
10.30
Embriyonic body about ½ yolk
11.30
Embriyonic body with optiv lobe, 16 myomere
12.30
Auditory vessicle appeared
14.30
Pembentukan lensa optik dan otolit
14.55
Pergerakan pertama
15.55
Denyut jantung
17.05
Menetas
19.05


Sumber : Hassa dan Carlos (1993).


2.    Kebiasaan Makan Larva


Larva Kerapu Macan yang baru menetas mempunyai panjang total tubuh sekitar 2,0–2,5 mm, membawa kantong kuning telur dengan diameter 1,0–1,2 mm. Didalam kantong kuning telur terdapat gelembung minyak dengan diameter 0,2 mm terletak pada bagian posterior.

  
Sedangkan pada Kerapu Bebek, larva yang baru menetas mempunyai panjang total 1,70–1,78 mm. Mata belum berpigmen, mulut dan anus belum terbuka. Perkembangan berikutnya tubuh semakin panjang, sedangkan kantong telur dan gelembung minyak semakin mengecil. Pembentukan sirip punggung mulai terjadi pada hari pertama. Pada hari ke dua sirip dada mulai terbentuk dan jaringan usus telah berkembang sampai ke anus. Berikutnya pada hari ke tiga mulai terjadi pigmentasi saluran pencernaan bagian atas dan bukaan mulut berukuran sekitar 125 µ. Hari ke empat kuning telur telah habis terabsorbsi.


Periode perkembangan larva kerapu sampai tahap metamorfosis penuh membutuhkan waktu 35–40 hari pada suhu 27–29 oC. Setelah menetas sampai dengan hari ke tiga larva mendapatkan pakan secara endogenus yaitu dengan mengabsorbsi kuning telur yang dibawanya, kemudian mulai mendapatkan pakan secara eksogenous pada hari ke tiga seiring dengan mulai terbukanya mulut. Sesuai dengan bukaan mulut, larva kerapu mulai memangsa rotifer sebagai pakan pertama.


Peralihan antara mendapatkan pakan secara endogenous ke eksogenous merupakan fase kritis pertama dalam perkembangan larva sehingga sering terjadi kematian massal antara 50–90 %. Kohno et al (1990) telah menganalisa sebab-sebab kematian massal pada peralihan pola makan dari enodogenous ke eksogenous dengan menghitung time leeway yaitu waktu antara larva mulai buka mulut sampai larva mulai bisa memangsa pakan dari luar. Dari hasil analisa didapat penyerapan gelembung minyak terjadi selama 92,5–94 jam sejak ditetaskan, penyerapan kuning telur terjadi 71–87 jam sejak penetasan, mulai buka mulut 55 jam dan jarak antara waktu larva mulai makan sampai semua larva makan adalah 69–92,5 jam sejak penetasan. Dari hasil analisa tersebut diperoleh time leeway -21,5 dan 18 jam. Jika time leeway negatif (minus 21,5) maka hampir dapat dipastikan 90% larva akan mati pada hari ke tiga, karena kuning telur telah terserap habis 71 jam sejak ditetaskan, sedangkan larva mulai memangsa pakan dari luar 21,5 jam kemudian yaitu 92,5 jam sejak ditetaskan. Sebaliknya bila time leeway positif (18 jam) maka kemungkinan sebagian besar larva dapat bertahan hidup.


Selanjutnya Muchari et. al.(1991) mengutip pendapat Blaxter dan Hempal dalam Tseng dan Chan (1985) kematian yang terjadi pada larva hari ke lima dan seterusnya dapat terjadi karena disebabkan oleh fenomena point of no return yaitu suatu keadaan hanya 50%  larva yang mampu makan pada kondisi dimana jumlah pakan optimal, sedangkan sisanya tidak mampu lagi memangsa pakan yang tersedia. Point of no return dapat terjadi karena kesalahan dalam menentukan jadwal pemberian pakan dan rendahnya mutu pakan.


Sebagaimana jenis-jenis ikan kerapu lainnya, kerapu bersifat karnivor terutama larva molusca (trokofor), rotifer, krustase kecil, kopepoda dan zooplankton untuk larva, sedangkan untuk ikan kerapu yang lebih dewasa, ikan-ikan kecil, krustase dan cephalopoda. Menurut Nybakken (1988) sebagai ikan karnivor, kerapu juga menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolom air. Kerapu mempunyai kebiasaan makan pada siang dan malam hari dan lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Kerapu biasa mencari makan dengan menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Kerapu lumpur dan macan mempunyai kemampuan menangkap mangsa lebih cepat dari pada kerapu sunu (Anonymous, 1991). Berdasarkan perilaku makan, ikan kerapu menempati struktur tropik teratas dalam piramida rantai makanan (Randall, 1987). Sebagai ikan karnivora kerapu mempunyai sifat buruk yaitu kanibalisme. Kanibalisme merupakan salah satu penyebab kegagalan pemeliharaan dalam usaha pembenihan. Sifat kanibalisme mulai muncul pada larva kerapu umur 30 hari, penyebab munculnya kanibalisme diantaranya adalah ketersediaan pakan kurang, sehingga diantara benih saling memangsa. Dibandingkan ikan Kerapu Macan, sifat kanibalisme pada Kerapu Bebek lebih rendah.




DAFTAR BACAAN


Anonymous. 1991. Operasional Pembesaran Ikan Kerapu Dalam Karamba  Jaring Apung.

Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros, Balitbangtan, Deptan, Jakarta.

Chen, F.Y.M. Chow, T.M. Chow, and R. Lin, 1977. Artificial Spawning ang Larval Rearing of the Grouper, Epinephelus tauvina, in Singapore. Singapore J. Pri. Ind. 5 (1) : 1-2.

Chen, F. Y.. M. Chow, and R. Lin,1997. Article Spawning and larvar Rearing of the Grouper, Epinephelus tauvina Forskal, Culture in Floating Net Cages. Aquaculture (14) p 31-37.


  
Hassa, M. S., Carlos, M. H., 1993. Mutaration, Spawning, and Egg Hatching of the Groupers Epinephelus fuscoguttatus (Forskal) and Plectropomus aerolatus (Ruppel) from the Red Sea In S.A. Al Thobaiti, H. M. Al Hindy (editors), Aquaculture Technology and Investment Oppor tunities : Proceeding of The First International Symposiumon Aquaculture Technology and Invesment Opportunities. Riyadh-Saudi Arabia.

Heemstra P.C., J.E., Randall, 1993. FAO Species Catalog Vol. 16 : Grouper of The World (Family Serranidae, Subfamily Ephinephelus). Rome. Food and Agriculture Organization of The United Nation.

Katayama, M. 1960. Fauna Javonica Serranidae (Piscea) Biogeograpical Society of Japan.

Tokyo new Service. Ltd. Ginza Nishi. Japan.

Kohno, H., S. Diani, P. Sunyoto, B. Slamet and P.T. Imanto, 1990. Early developmental events associated with changeover of nutrient source in the grouper Epinephelus fuscoguttatus larvae. Bull. Penelitian Perikanan. Special Edition No. 1. P : 51-56.

Leis, J. M., 1987. Review of the early life history of tropical groupers (Serranidae) and snappers (Lutjanidae) In J. J. Polovina, S. Ralston (editors), Tropical Snappers and Groupers : Biology and Fisheries Management. Westview press, Inc., Boulder and London.

.

Lim. K. J., C. L. Yen, T.S. Huang, C. Y. Liu and C. L. Chen. 1986. Experiment of Fry Nursing of Epinephelus salmoides (locepede) and its morfology. Study. Bull. Taiwan Fish Res. Inst.

Muchari, A. Supriatna, Resmayati Purba, T. Achmad dan Hiroshi Kohno, 1991. Pemeliharaan Larva Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Makalah Seminar on Marine Finfish Culture, Jakarta.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara, Penerbit Djembatan - Jakarta.

Nybakken, J. W., 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia – Jakarta.

Randall, J. E., (1987). A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes : Serranidae; Epinephelinae) of the Indo- Pacific Region In J. J. Polovina, S. Ralston (Editors), Tropical Snappers and Groupers : Biology and Fisheries Management. Westview press, Inc., Boulder and London.

Shapiro, D. Y., 1987. Reproduction in Groupers In J. J. Polovina, S. Ralston (editors), Tropical Snappers and Groupers : Biology and Fisheries Management. Westview Press, Inc., Boulder and London.

Smith, 1982. Introduction to Fish Physiologi. Publication Inc. England. P. 115.








Sugama, K., Artaty Wijono. 1995. Tekonologi Pembenihan dan Pengadaan Ikan Laut. Prossiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung Bagi Budidaya Laut. Jakarta.

Tampubolon, G. H. dan E. Mulyadi. 1989. Synopsis Ikan Kerapu di Perairan Indonesia.

Balitbangkan, Semarang.

Tan, S.M. and K. S. tan, 1974. Biology of Tropical Grouper, Epinephelus tauvina Forskal. A Preliminary Study on Hermaproditism in E. tauvina. Singapore J. Pri. Ind. 2 (2) : p 123-133.

Weber and l. F. De Beaufort. 1931. The Fishies of Indonesia – Australia Archipelago. Leiden.

Yoshimitsu, T., H. Eda, and K. Hiramitsu. 1986. Groupers Final Report Marineculture Research and Development in Indonesia. ATA 192, JICA. p 103-129.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar