Senin, 30 Desember 2019

INDIKASI PENYAKIT BINTIK HITAM

INDIKASI PENYAKIT

Nama                        :  Black Spot Disease atau bintik hitam pada udang
Tanda-tanda klinis  :  tampak fisik pada udang ialah karapas berwarna kecoklatan dan adanya bercak hitam pada karapas udang.
Metode diagnosa     :  adanya bercak-bercak hitam ditubuh udang, biasanya terjadi pasca panen.


Sumber : American Aqua Viet Nam


A.    Patogen
Nama                :   Vibrio anguillarum
Tipe patogen    :   Bakteri
Sinonim            :   -
Karakter          :   Bakteri ini dapat tumbuh di perairan air asin. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu kisaran 25-32 derajat celcius.
B.     Dampak Patogen
v  Toksisitas: 
Terjadi saat pasca panen udang, terjadinya blackspot menunjukan adanya pengurangan kualitas udang segar.
v  Faktor pre-disposing: 
Kualitas air yang buruk dan tingginya sisa-sisa pakan organik di dasar kolam dapat menjadi faktor utama penyebab penyakit ini. Pada saat pasca panen, udang terkena paparan sinar matahari, hal tersebut membantu proses terjadinya blackspot.
v  Transmisi: 
Belum ada data.
v  Epidemiologi: 
Indonesia dan negara-negara dia Asia.

v  Inang atau vektor: 
Bakteri ini dapat menyebar melalui air.
v  Dosis infeksi: 
Belum ada data.
v  Periode inkubasi: 
Belum ada data.

C.    Stabilitas Dan Viabilitas
  1. v  Kerentanan terhadap obat: 

         Belum ada data
  1. v  Kerentanan terhadap desinfektan/probiotik: 

         Belum ada data
  1. v  Inaktivasi fisik: 

         Setelah panen, udang dirantai beku atau ditambah larutan asam askorbat atau natrium bisulfite (NaHSO3) kedalam larutan garam yang dingin.
D.    Penanganan
  1. v  Peringatan dini: 

          Belum ada data.
  1. v  Pencegahan: 

Pencegahan pada penyakit ini dapat dilakukan dengan membersihkan dasar tambak dari kotoran, sisa pakan dan sisa moulting serta menjaga kualitas air.
  1. v  Pengobatan: 

Belum ada data.
  1. v  Eradikasi: 

Belum ada data.

E.     Regulasi Dan Informasi Lain
Sangat minim terkait informasi penyakit black spot ini.

Referensi
Cipriani,G.R., Wheeler,R.S., and Sizemore,R.K. 1980. Characterization of brown spot disease of gulf coast shrimp. Journal of Invertebrate Pathology 36(2):255-263. Doi: 10.1016/0022-2011(80)90031-2
Flegel, T.W., D.F. Fegan, S. Kongsom, S. Vuthikomudomkit, S. Sriurairatana, S. Boonyaratpalin, C. Chantanachookhin, J.E. Vickers and O.D. Macdonald. 1992. Occurrence, diagnosis and treatment of shrimp diseases in Thailand. In: W. Fulks and K.L. Main (eds.). Diseases of Cultured Penaeid Shrimp in Asia and the United States. The Oceanic Institute: Honolulu. p. 57-112.
Ganjoor, M. 2015. A Short Review on Infectious Viruses in Cultural Shrimps (Penaeidae Family). Journal of Fisheries Science. 9 (3): 9-33.
Lotz, J.M. 1997. Special Topic Review: Viruses, Biosecurity and Specific Pathogen-free Stocks in Shrimp Aquaculture. World Journal of Microbiology & Biotechnology. 13: 406-413

INDIKASI PENYAKIT AHPND


INDIKASI PENYAKIT

Nama                        Acute Hepatopancreatic Necrosis Disesase (AHPND), sering dikaitkan atau disamakan juga dengan Early Mortality Syndrome (EMS).
Tanda-tanda klinis  :  Udang yang mengalami penyakit AHPND menunjukkan kosongnya saluran pencernaan dan hepatopankreas berwarna pucat dan mengecil, kulit menjadi lunak, dan bintik hitam pada hepatopankreas. Kematian dapat terjadi pada hari ke-10 setelah tebar dan udang yang lemas tenggelam didasar kolam.
Metode diagnosa     Tanda-tanda ini mungkin mirip dengan penyakit lain, maka diperlukan konfirmasi dengan melakukan uji histopatologi hepatopankreas atau dideteksi dengan polymerase chain reaction (PCR).

Contoh udang yang telah terkena AHPND
A.    Patogen
Nama                :  Disebabkanoleh Vibrio parahaemolyticus strain unik VPAHPND. Pada penelitian lain menyebutkan bahwa dapat disebabkan juga oleh Vibrio harveyi.
Tipe patogen    :   bakteri gram negatif
Sinonim              tidak ada data
Karakter            plasmid virus ini mengandung dua gen yang memproduksi toksin yang jika hadir bersamaan menyebabkan AHPND yaitu Pir A dan Pir B. Toksin mirip dengan yang dihasilkan oleh Photorhabdus spp. (bakteri Enterobacteriaceae gram negatif). Bakteri Vibrio dapat membelah diri tiap 10-20 menit sehingga dapat merubah dinamika ekosistem kolam budidaya dengan cepat. Vibrio harveyi yang memiliki plasmid yang membawa gen toksin mirip Pir-AB.
B.     Dampak Patogen
v  Toksisitas: 
Dapat menyebabkan mortalitas (kematian) 100% pada fase post-larva (PL) pada hari ke-35 budidaya. Infeksi penyakit dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain seperti WSSV dan EHP.
v  Faktor pre-disposing: 
Penyakit ini dapat turut dipicu oleh tingginya konsentrasi materi organik yang berasal dari pakan, pupuk dan molase; suhu tinggi; salinitas tinggi; pH tinggi; rendahnya keragaman plankton di kolam; dan suhu rendah sekitar 20°C selama 48 jam dapat memicu terjadinya infeksi.
v  Transmisi: 
Dapat terjadi secara horizontal dari kanibalisme dan vertikal dari indukan. Setelah itu bakteri akan masuk ke organ pencernaan berkolonisasi dan menginfeksi lambung terlebih dahulu dan kemudian menuju hepatopankreas.
v  Epidemiologi: 
Dilaporkan pertama kali terjadi di Tiongkok pada 2009 yang awalnya dinamakan covert mortality disease. Kemudian dilaporkan terjadi di Vietnam, Malaysia, Thailand, Mexico, dan Filipina. Belum ada laporan bahwa AHPND terjadi di wilayah Indonesia.
v  Inang atau vektor: 
Organisme air seperti kepiting, ikan, plankton, maupun burung berpotensi membawa sumber penyakit tetapi perlu dikonfirmasi lebih lanjut. Bakteri ini dapat terbawa oleh zooplankton karena V. parahaemolyticus dapat menempel pada kitin (salah satu zat penyusun karapas udang). Polychaeta (kelas cacing) juga berpotensi menjadi agen pembawa patogen. 
v  Dosis infeksi: 
Bakteri Vibrio dengan jumlah populasi > 1 x 10³ CFU/ml berpotensi menyebabkan penyakit ini.
v  Periode inkubasi: 
Belum ada data.

C.    Stabilitas Dan Viabilitas
v  Kerentanan terhadap obat: 
Tidak ada data, namun penggunaan antibiotik dihindari untuk menghindari resistensi udang terhadap antibiotik. Vibrio yang dihasilkan dari adanya biofilm di dasar kolam dapat bertahan meskipun diberi perlakuan antibiotik (Chloramphenicol dan Tetracycline).
v  Kerentanan terhadap desinfektan/probiotik: 
Tidak ada data.
v  Inaktivasi fisik: 
Tibekukan pada suhu -18°C sampai -24°C atau dipanaskan pada suhu 55°C selama 5 menit atau pada suhu 80°C selama 1 menit. Dapat juga diinaktivasi pada pH 5 selama 15 menit.


D.    Penanganan
v  Peringatan dini: 
Melakukan sampling lengkap secara rutin untuk memeriksa kesehatan udang dan terbebas dari Vibrio, udang yang lemas dan berubah perilakunya dapat menjadi peringatan dini potensi terserang penyakit, adanya perubahan warna, adanya tanda kulit/karapas yang mengelupas bukan karena siklus molting.
v  Pencegahan: 
Treatmen air sebelum masuk kolam budidaya, penggunaan benur SPF, manajemen budidaya yang baik dengan menjaga kualitas air tetap stabil tidak terjadi perubahan secara mendadak, mengurangi ukuran kolam untuk mempermudah pengelolaan, menambah aerasi untuk meningkatkan kapasitas energi.
v  Pengobatan: 
Belum ada data.
v  Eradikasi: 
Udang yang positif AHPND didesinfeksi menggunakan kaporit 100 ppm selama 3-7 hari kemudian dikubur; dasar tambak dibersihkan dari sisa-sisa molting udang, pakan, dan lumpur lalu didesinfeksi menggunakan kaporit 100 ppm dan pengeringan minimal 15 hari; desinfeksi peralatan tambak (kincir, anco, dll) dengan kaporit 100 ppm; serta saluran inlet dan outlet dikeringkan kemudian diberi kapur tohor 2 ton/hektar. Sebelum kolam digunakan kembali dilakukan pemeriksaan ulang pada dasar dan dinding serta sumber air dipastikan bebas AHPND.

E.     Regulasi Dan Informasi Lain
Persebaran penyakit AHPND terjadi lewat transportasi udang hidup yang terjangkit penyakit kemudian dibawa ke tempat lain. Contoh kasusnya adalah menyebarnya AHPND dari Asia ke Meksiko. Kasus lain adalah hewan hidup yang biasa digunakan sebagai pakan udang dapat membawa sumber penyakit AHPND. Contoh kasusnya adalah penyebaran AHPND melalui polychaeta dari Tiongkok ke Thailand.
Udang yang terjangkit bakteri Vibrio ini sangat mungkin berpotensi berbahaya juga jika dikonsumsi oleh manusia terutama pada olahan makanan yang menggunakan udang mentah atau setengah matang. Vibrio parahaemolyticus dapat menyebabkan gastrienteritis pada manusia.
Indonesia masih terbebas dari EMS/AHPND dan terus melakukan pencegahan agar tetap terbebas dari penyakit ini melalui pembentukan tim taskforce pencegahan penyakit AHPND beranggotakan unsur pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan pakan yang dibentuk oleh KKP. Langkah lain yang diambil yaitu dengan memastikan proses pembenihan udang benar-benar aman dari kontaminasi penyakit EMS/AHPND tidak terkecuali dengan menggunakan induk udang yang benar-benar terbebas penyakit.

Referensi
Bondad-Reantaso, M.G. and J.R. Arthur. 2018. FAO Technical Assistance Efforts to Deal with Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) of Cultured Shrimp. Asian Fisheries Science. 31S: 1-14.
Boyd, C.E. and T.Q. Phu. 2018. Environmental Factors and Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) in Shrimp Ponds in Viet Nam: Practices for Reducing Risks. Asian Fisheries Science. 31S: 121-136.
FAO. 2018. AHPND: Acute Hepatopacreatic Necrosis Disease. Asian Fisheries Society.
Hirono, I., S. Tinwongger, Y. Nochiri, and H. Kondo. 2018. Latest Research on Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) of Penaeid Shrimps. SEAFDEC/AQD Institutional Repository (SAIR).
Kawagashi, D. 2018. New Paradigm for Controlling EMS/APHNS in Intensive P. vannamei Boone 1931 Culture Ponds. Asian Fisheries Science. 31S: 182-193.
Karunasagar et al. 1996. Aquaculture 140: 241-245.
Lightner, D.V., T.W. Flegel, and L. Tran. 2014. Disease of Crustaceans: Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND). NACA.
Maskur, Taukhid, H.B. Utari, S. Naim, M.S. Hastuti, D. Nugraha, dan Z. Widowati. 2019. Standar Operasional Prosedur Pengendalian AHPND (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease). Direktorat Kawasan dan Kesehatan KKP.
Muhammed, S.T. 2018. Surveillance and Animal Health Monitoring – Early Detection of Disease. Asian Fisheries Science. 31S: 194-209.
OIE. 2013. Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease: Aetiology, Epidemiology, Diagnosis Prevention and Control References. OIE Scientific and Technical Department.

Sabtu, 30 November 2019

Solusi Atasi Pengaruh Musim Hujan Terhadap Budidaya Udang


Solusi Atasi Pengaruh Musim Hujan Terhadap Budidaya Udang



Perlakuan teknis budidaya yang direkomendasikan untuk diterapkan pada saat musim hujan antara lain :

1. Pemupukan Secara Intensif
Pada saat musim hujan pemberian pupuk harus lebih sering dilakukan hal ini untuk menjaga kestabilan plankthon (phytoplankthon) di dalam perairan tambak. Hal yang perlu diingat adalah lebih baik memberikan pupuk dalam jumlah yang tidak terlalu banyak tetapi rutin dilakukan daripada memberikan pupuk dalam dosis besar pada saat terjadi plankthon collaps. Selain itu manfaatkan sinar matahari secara maksimal untuk melakukan pemberian pupuk ini.

2. Pengoperasian Kincir Secara Maksimal
Perlakuan ini diperlukan untuk mengoptimalkan proses pemupukan yang telah dilakukan dalam rangka membantu menjaga kestabilan plankthon (phytoplankthon). Pengoperasian kincir juga diperlukan untuk menjaga kondisi perairan tambak agar tidak terjadi perbedaan yang menyolok antara permukaan (yang disebabkan oleh air hujan) dan air di lapisan dasar tambak. Selain itu pengoperasian kincir juga untuk menambah suplai oksigen di dalam perairan karena pada saat hujan oksigen yang dihasilkan oleh proses fotosintesa plankthon berkurang drastis.

3. Sirkulasi Air Secara Oplos
Pengertian oplos adalah sirkulasi air yang dilakukan melalui cara buang isi secara bersamaan. Metode sirkulasi air seperti ini juga diperlukan untuk menjaga kondisi perairan tambak agar tidak terjadi perbedaan yang menyolok antara permukaan (yang disebabkan oleh air hujan) dan air di lapisan dasar tambak. Jika sumber pemasukan air (inlet) dalam kondisi keruh/kotor, untuk sementara jangan dilakukan sirkulasi air.

4. Monitoring
Lakukan monitoring secara ketat dalam hal jadwal dan cara pemberian pakan terutama pada saat hujan.


Sumber i http://benurmurah.blogspot.com/

Pengaruh Musim Hujan Terhadap Budidaya Udang

Pengaruh Musim Hujan Terhadap Budidaya Udang

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat musim hujan terkait dengan teknis budidaya antara lain :

1. Tingkat Kestabilan Kualitas Air Tambak.
Pada saat musim hujan, kualitas air tambak cenderung tidak stabil dan berfluktuasi serta pada kondisi ekstrim akan terjadi penurunan kualitas perairan secara drastis. Seperti kita ketahui, kualitas perairan erat sekali dengan aktivitas plankthon (phytoplankthon) dalam berfotosintesa untuk menghasilkan cholorophyl (zat hijau daun) yang sangat berguna dalam menjaga keseimbangan ekosistem perairan tersebut. Kegiatan fotosintesa oleh plankthon (phytoplankthon) tersebut sangat tergantung oleh adanya sinar matahari, sedangkan pada musim hujan intensitas sinar matahari di dalam perairan tambak relatif minim sehingga kualitas air tambak cenderung tidak stabil. Pada saat curah hujan sangat tinggi, bahkan sering dijumpai fenomena “plankthon collaps”, yaitu plankthon yang ada di dalam perairan tambak mengalami “kematian secara massal”. Pada kondisi kulitas air tambak tidak stabil, udang akan sangat mudah mengalami stress dan sangat rentan terhadap berbagai ancaman penyakit.

2. Sumber Pemasukan Air (inlet)
Di Indonesia secara umum sumber pemasukan air (inlet) yang digunakan untuk sirkulasi air tambak adalah air yang diambil secara langsung dari laut atau sungai besar. Pada saat musim hujan sumber pemasukan air ini relatif keruh dan kotor karena erosi dan kotoran yang terbawa oleh aliran air laut/sungai. Kondisi air seperti ini jika digunakan secara langsung dalam proses sirkulasi air tambak akan berpengaruh terhadap kualitas air yaitu adanya partikel-partikel di dalam perairan tambak. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan penyakit insang merah pada udang.

3. Program Pemberian Pakan
Pada saat musim hujan, program pemberian pakan (terutama yang terkait dengan pakan harian) biasanya terganggu baik itu frekuensi yang diberikan maupun tingkat rataan sebaran pakan dalam petakan. Kondisi seperti ini lebih terkait dengan sikap dan kedisiplinan dari petugas pemberi pakan, karena biasanya seseorang cenderung malas dan seenaknya dalam memberikan pakan dalam kondisi hujan. Perubahan frekuensi pakan dan sebaran pakan yang tidak merata secara tidak langsung dapat mengakibatkan ukuran size udang/tingkat variasi udang akan beragam dan pada kondisi ekstrim dapat memperburuk kondisi udang.

sUMBER : http://benurmurah.blogspot.com/